Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komen yang bermutu, sharing blog ini ke sosial media, dan meletakkan link-nya! Mari budayakan bertukar link dan e-Halo.

Rabu, 16 Mei 2012

Siapa Bilang Kejujuran Sudah Mati ?


Belum lama saya mengenalnya, baru beberapa hari yang lalu saat saya mengantar seorang teman untuk mengganti kacamatanya. Pak X, usianya sudah lebih dari empat puluh tahun, ia mengaku sudah dua puluh lima tahun menjalani profesi sebagai penjual kaca mata, "Optik berjalan," istilahnya. Tetapi pertemuan yang hanya satu hari dan tidak disengaja itu seolah membuat saya merasa baru saja bertemu teman lama yang teramat saya rindui. Secara fisik, saya memang baru bertemu kali itu. Dan memang bukan sosoknya yang saya rindui melainkan apa yang baru saja diutarakannya tentang  sekelumit pengalamannya mencari nafkah sebagai penjual kaca mata.

Bermula dari teman saya yang memaksa saya untuk ikut bersamanya memesan kacamata. Saya harus ikut, katanya. Sementara ia tak menjelaskan maksud `paksaannya' itu, kecuali satu kalimat, "kamu akan mendapat satu pelajaran lagi". Tak perlu berpikir lama, saya pun mengiyakan ajakannya. Jika berkenaan dengan soal pembelajaran, tak ada kata penolakan untuk urusan satu ini. Enam ratus ribu, biaya yang harus
dikeluarkan teman saya untuk satu kacamata barunya. Baginya, angka sebesar itu tidak masalah, karena ia akan mendapat penggantian dari kantornya. "Pak X, kita kan sudah langganan. Tolong dibuatkan kwitansinya satu juta ya pak, nanti saya kasih seratus ribu buat bapak," tak menyangka, kalimat itu yang keluar dari mulut teman saya saat ia menyodorkan enam ratus ribu untuk pembayaran kacamatanya.

Dahinya berkerut, matanya mengerenyit memkitang tajam ke arah teman saya. Ia seperti tengah bertanya-tanya, benarkah permintaan barusan keluar dari langganannya yang satu ini? "Apa saya tidak salah dengar pak? Bukankah bapak sudah tahu sikap saya untuk hal ini?" orang di sebelah saya yang baru saja memesan kacamata hanya menyeringai, kemudian terkekeh kecil. Kemudian ia bangkit dan memeluk Pak X,
"Ternyata, Pak X sekarang tidak berubah dengan Pak X dua tahun lalu, saat pertama kali saya memesan kacamata lewat bapak," ujar teman saya yang ternyata hanya menguji Pak X.

Dua puluh lima tahun ia menjalani profesinya sebagai optik berjalan, tidak bisa dibilang cukup penghasilan yang bisa diperolehnya. Untuk pesanan satu kacamata, tak jarang ia hanya mendapat keuntungan dua puluh lima ribu rupiah, walau pun sesekali ia merasakan keuntungan empat kali lebih besar dari itu. "Yah, nggak sebulan sekali pak," ujarnya singkat. Dalam seminggu paling banyak dua pesanan kacamata yang diterimanya, bahkan kadang tak satupun ia mendapat pesanan dalam satu pekan.

Namun, keadaan yang semakin menghimpitnya itu ternyata tak pernah ia jadikan alasan untuk menerima tawaran untuk membuat kwitansi diluar kewajaran. "Banyak pak yang minta saya bikin kwitansi semacam itu, selalu saya tolak. Duitnya nggak seberapa, tapi dosanya itu..." menjawab pertanyaan saya, berapa banyak langganannya yang meminta jumlah pembayarannya dilebihkan dalam kwitansi. "Bapak tidak takut langganannya akan beralih ke yang lain?" tanya saya disambutnya dengan seringai tawanya yang sedikit
tertahan. "Yang saya tahu pak, tangan kanan itu tempatnya tetap di kanan, nggak pernah pindah ke kiri." Ia memperjelas kalimatnya, bahwa kebenaran nggak akan pernah ditinggalkan, dan menurutnya, justru semakin banyak pemesan kacamata yang datang kepadanya. Padahal ia tidak pernah mengenal sebelumnya. "Itu di luar langganan, kalau yang sudah langganan sih pasti datang kesini, seperti teman bapak ini," tawanya mulai lepas.

Pak X, dibalik perawakannya yang kecil, kurus dan berkulit hitam itu tersimpan hati yang jernih, yang didalamnya terukir indah kejujuran yang senantiasa terawat indah. Dan teman saya benar, saya baru saja mendapati sebuah kenyataan, bahwa kejujuran ternyata belum benar-benar mati………………………….

Pesan Moral yang bisa saya ambil dari cerita diatas :

Jujur, itulah sebuah sikap yang sering kita jumpai dalam keseharian. Pepatah mengatakan meski zaman dimakan usia, jujur tetap jujur yang tak lapuk ditelan masa meski erosi moral mewabah seluruh negeri. Kejujuran bukanlah sebuah benda yang biasa yang sering kita lihat dan sentuh, ia tak yang mudah digenggam erat sepanjang hidup. Karena memang kita sering mengangapnya sebagai sesuatu dengan penuh resiko. Lihatlah di sekeliling, banyak orang  yang menggunakan berbagai cara untuk mencapai apa yang diinginkan meski melepaskan kejujuran dari genggamannya.
 

Para pemimpin penggadaikannya demi  mempertahankan tampuk kekuasaan, para penjual mengeruk keuntungan untuk menumpuk gudang hartanya, dan yang lebih menyedihkan bahkan banyak persabahatan solid yang dibangun dengan indahnya sekian lama menjadi lebur bersama lekangnya kejujuran hanya karena kepentingan atau ambisi pribadinya terganggu bila mesti harus berkata jujur.

Seringkali kita terjebak atau kita dapati sikap mencari kambing hitam dan menyalahkan orang lain sebenarnya bentuk lain dari ketidakdewasaan seseorang.  Bukankah salah satu ciri manusia dewasa adalah sadar sepenuhnya akan tanggungjawab dari segala tindakan yang (sudah dan akan) dilakukannya?


Kedewasaan ini membutuhkan satu syarat penting yaitu kejujuran terhadap diri sendiri. Mustahil kita bersikap jujur dan mengambil tanggungjawab penuh terhadap semua tindakan yang kita lakukan kalau Kita sendiri tidak pernah jujur terhadap diri sendiri. Kejujuran memang mudah terucap tetapi sulit dilakukan, bukan. Tak heran banyak nasihat tentang kejujuran bertebaran di mana-mana. Kejujuran tetaplah kejujuran yang tak dapat disejajarkan dengan nilai materi beberapa jua karena memang ia tak mengenal untung rugi. Ia bagaikan mutiara dalam dalam lumpur pendustaan zaman, yang bersinar meski terlindas kejamnya peradapan manusia. Kejujuran tetaplah ditempatkan mulia disisi-NYA, sedangkan kepalsuan tetaplah kebusukan dan bagian dari orang-orang yang munafik karena memang ketidakjujuran acapkali membuat banyak goresan luka mendalam bagi orang-orang disekeilingnya.Rasakan jujuran sebagai jamu penguat kesehatan bukan sirup manis peluluh kesehatan.

Tak salah bila orang bijak berkata"sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak akan percaya" , harga yang sangat mahal untuk akibat dari ketidakjujuran!  (By Mohamad Yunus)

Have a positive day!

Salam,
Mohamad “Bear” Yunus
Sr. HRD Manager of Pharmaceutical Company
Certified Hypnosis and Hypnotherapy 
Sertifikasi Pengurus Dana Pensiun
Certified Professional Human Resources
Certified Coaching and Mentoring
Licensed Practitioner of Neuro-Linguistic Programming™ (from co-creator NLP, Dr. Richard Bandler)
Licensed Master Practitioner of Neuro-Linguistic Programming™ (from co-creator NLP, Dr. Richard Bandler)
Licensed Hypnotic Practitioner™ (from co-creator NLP, Dr. Richard Bandler) As a Hypnotherapist
Certified “Communication Expert”
Certified “Life Coach”
"Kita-lah yang menciptakan realita kita sendiri"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar