Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komen yang bermutu, sharing blog ini ke sosial media, dan meletakkan link-nya! Mari budayakan bertukar link dan e-Halo.

Kamis, 15 Desember 2011

Adalah lebih baik untuk terlebih dahulu menjadi seorang pendengar yang baik sebelum menjadi pembicara yang baik

By A.C. Huang – inspired by Guru Kripta

Quote di atas –mungkin- sudah bukan quote yang istimewa dan termasuk umum. Quote tersebut muncul karena kekaguman saya pada mentor, motivator, inspirator, dan orator terkenal seperti Tung Desem Waringin, Mario Teguh, dan tentunya orator besar bangsa kita : Bung Karno. Sejujurnya, saya ingin seperti mereka. Setiap kali mereka tampil, seluruh audience memberikan sambutan dan menunjukkan antusias yang luar biasa. Ini yang membuat saya tergerak untuk mengetahui bagaimana mereka bisa luar biasa.

Saya berusana untuk mencari tahu jawabannya, dan justru saya mendapatkan pencerahan dari Guru Kripta yang mengatakan “A good listener is always a good speaker and later on he will become a good leader. Artinya : Seorang pendengar yang baik adalah selalu menjadi pembicara yang baik, dan kemudian akan menjadi pemimpin yang baik.

Selanjutnya, bagaimana kita bisa menjadi pendengar yang baik ? Sang Guru mengatakan sebagai berikut :
“If you come across a person, who knows more than you, be like a child and listen to him as attentively. If you face someone with less knowledge than you have, be humble and strive to make him as good as or even better than you.”
Inti dari ujaran di atas adalah : kita harus bisa menyesuaikan diri dengan siapa kita berbicara. Kalau kita berbicara dengan orang yang lebih pandai dari kita maka janganlah kita sok pinter atau sok tahu. Sebaliknya, kalau kita berbicara dengan orang yang pengetahuannya lebih rendah dari kita maka kita juga tidak boleh berbicara dengan gaya seakan kita lebih tahu darinya, melainkan kita harus bisa merendahkan hati kita dan menempatkan lawan bicara kita sejajar dengan kita.

Pesan Guru Kripta nampaknya tidaklah sulit untuk dilakukan, meskipun saya sendiri mengakui bahwa diperlukan latihan untuk bisa menjadi pendengar yang baik; dan menjadi pendengar yang baik ini tidaklah mudah sebab banyak di antara kita yang lebih suka menjadi pembicara daripada menjadi pendengar. Apalagi kalau kita berhadapan dengan lawan bicara yang kapasitasnya di bawah kita maka akan muncul dorongan dari dalam diri kita untuk mendominasinya, dan ada kepuasan kalau bisa mendominasi. Sebaliknya, kalau kita berhadapan dengan orang yang kapasitasnya di atas kita, ada kecenderungan dari kita untuk berpura-pura menjadi setara dengannya supaya kita tidak dipandang rendah. Padahal, justru dengan tidak berpura-pura menjadi setara maka kita bisa menggali banyak pengetahuan dari lawan bicara kita.

Pada dasarnya, ada dua keuntungan menjadi pendengar yang baik. Keuntungan pertama adalah kita bisa mendapatkan pengetahuan baru. Keuntungan kedua adalah kita bisa memahami lebih mendalam tentang lawan bicara kita. Memahami lawan bicara adalah sama halnya dengan memahami audience. Orator-orator kelas wahid pada umumnya mempunyai kemampuan memahami audience-nya dengan baik, sehingga dia bisa menyampaikan orasinya sehingga menimbulkan atensi luar biasa dari audience. Mengapa bisa demikian ? Menurut saya, pada saat sang orator memahami audience maka pada saat itulah terjadi empati antara orator dengan audiencenya. Adanya empati inilah membuat sang orator nampaknya bisa menyampaikan sesuatu yang memang dirindukan oleh audience.

Mendengar itu tidak hanya menyimak yang disampaikan oleh orang lain, melainkan juga memahaminya. Di saat terjadinya proses pemahaman maka di saat itulah terjadi empati. Empati ini mempunyai peranan penting yang mendukung interaksi antara audience dengan sang orator. Dengan kata lain, orator ulung adalah mereka yang bisa berempati dengan audiencenya.

Selanjutnya, apakah maksud sang Guru bahwa pendengar yang baik adalah pembicara yang baik dan akhirnya menjadi pemimpin yang baik ? Dalam hal ini, saya ilustrasikan lewat pengalaman yang saya alami.
Partner saya adalah tipe pendengar yang baik. Di awal perjumpaan saya dengannya, dia begitu antusias mendengar, menyimak, dan memahami setiap penjelasan saya perihal rencana untuk membuka divisi usaha baru bekerja sama dengannya. Saat memaparkan rencana bisnis tersebut di hadapannya, saya sama sekali tidak merasakan adanya defense dari dia. Dia bahkan menunjukkan antusiasmenya yang besar, dan di sinilah saya melihat betapa besar empatinya kepada saya. Kalaupun ada yang tidak berkenan dengannya, maka dia menyampaikan pandangannya dengan mengatakan : “bagaimana kalau konsepnya diubah seperti ini, apa kira-kira hasilnya.” Dia sama sekali tidak mengkritik dan menyerang saya, melainkan mengarahkan saya untuk bisa mengikuti jalan pikirnya. Sangat jarang saya menerima perlakuan demikian, sebab pada saat saya presentasi, selalu saja saya merasakan ada serangan balik dari lawan bicara saya. Perasaan ini muncul entah karena memang saya tidak pernah mau mendengar orang lain, atau memang lawan bicara yang bergaya menyerang. Terlepas dari ini semua, saya banyak belajar dari partner saya soal menjadi pendengar yang baik, yang juga memberikan pencerahan tentang bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan juga mencerahkan saya untuk berhasil dalam menghadapi komplain, dan termasuk menyelesaikan persoalan hutang macet dari beberapa customer. Pengalaman ini saya tularkan kepada semua staff di divisi saya dan memberikan hasil yang memuaskan. Komplain dapat ditangani dengan baik, dan customer yang awalnya marah-marah malah berbalik menjadi mitra dengan memberikan order-order lagi. Juga, angka kredit macet bisa ditekan sampai titik terendah, dan beberapa customer yang sudah melunasi hutangnya justru menjadi mitra yang mendukung meningkatnya angka sales.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar