Seri Artikel Home Improvement
“Silahkan duluan, Pak…”, ucap seorang bapak
tua ramah kepada saya. Beliau mempersilahkan saya untuk duluan antri ke loket
sebuah bank. Pagi itu adalah Senin pertama di awal bulan. Dan seperti yang
biasa saya amati di setiap kantor Bank pada hari Senin pertama setiap bulannya,
terjadinya transaksi keuangan yang jauh di atas kondisi biasanya. Ditandai
dengan begitu banyak orang yang sudah mengantri di depan loket, bahkan ketika
loket itu sendiri belum dibuka.
Seperti sebuah ritual bulanan, pagi itu
saya setor ke sebuah bank untuk melakukan kewajiban saya membayar kredit
kepemilikan rumah yang saat ini saya tinggali. Kebetulan pagi itu juga saya
harus bergegas karena baru saja saya mendapat SMS bahwa saya telah ditunggu
untuk sebuah pertemuan di kantor tempat saya bekerja.
Bergegas memarkir
mobil, menyambar tas, masuk gedung bank, dan begitu banyak orang sudah mengantri
di depan loket sementara waktu juga belum menunjukkan pukul delapan. Rasa
kemrungsung mulai melanda. Cepat saya menyambar slip setoran, mengisinya, dan
sejurus kemudian bergegas menuju antrian. Setengah berlari saya kesana, ketika
pada waktu yang sangat bersamaan, seorang bapak tua juga berjalan pelan menuju
mulut lorong antrian. Kami berdua bertemu berhadapan tepat di depan bibir jalur
antri.
Tiba-tiba dibenak saya dilanda sebuah niatan untuk menyerobot ke
jalur antrian lebih dahulu. Karena toh saya menganggap antara saya dan sang
bapak tua sama-sama punya hak yang sama untuk saling mendahului...hmm...? Paling
tidak begitu anggapan saya saat itu. Hampir terjerembab ke depan, ketika
tiba-tiba saya refleks menahan niatan untuk melompat ke jalur antrian, ketika
waktu itu justru dengan ramah sang bapak tua memberi tanda dengan tangan
terbuka, sambil tersenyum mempersilakan saya untuk duluan.
Muka saya
seperti tertampar. Untuk membalas senyum kepada sang bapak tua itu pun saya
begitu berat, malu rasanya. “Maaf, pak, saya melancangi bapak…. Saya
terburu-buru…” begitu kata saya kemudian berusaha mencairkan beban rasa
bersalah.
“Oh, ndak apa-apa, mas, silahkan…silahkan... Saya tidak
buru-buru kok... Kalo sudah sampai jatahnya kan ya nanti pasti kebagian…, ya
kan, mas?” begitu kata si bapak. Sebuah kata-kata yang menurut saya barmakna
dalam. Membuat saya menjadi semakin merasa kecil.
Saya tidak tahu persis
apakah sang bapak ini pernah membaca teorinya ‘seek first to understand…’ atau
belum. Tapi yang jelas, pagi itu sang bapak tua ini telah mempraktikkannya. Dan
lucunya, beliau mempraktikkannya di depan saya. Di depan seseorang yang belajar
‘seek first to understand’..., mengamatinya dalam kehidupan keseharian, tapi toh
praktiknya masih harus banyak belajar justru kepada seseorang yang mendengar
nama Stephen Covey aja mungkin belum pernah.
Perilaku antri adalah sebuah
contoh bagaimana kita mau tidak mau harus berusaha untuk ‘mengerti dahulu’ orang
lain. Terutama ‘mengerti dahulu’ terhadap orang yang berdiri mengantri di depan
lebih dahulu dari kita. Entah itu ‘mengerti dahulu’ karena mereka datang lebih
awal, atau yang lainnya. Tapi yang jelas esensi dari mengantri, kita seolah
dipaksa untuk belajar bahwa sesibuk apa pun kita, sepenting apa pun kita,
setinggi apa pun jabatan kita, siapa pun kita, seburu-buru apa pun kita, ketika
tiba giliran kita harus mengantri, maka kita harus ‘mengerti dahulu’ bahwa yang
mengantri lebih dahulu memiliki hak untuk lebih dahulu dilayani.
Budaya
antri di bangsa kita ini, saat ini walaupun terkadang masih terlihat orang-orang
berperilaku memalukan—seperti yang saya lakukan pada cerita diatas—tetapi
terlihat ada kemajuan yang berarti dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Saya
masih ingat sekitar tujuh tahun lalu kebelakang, sebelum saya menikah, di mana
saya sering melewatkan waktu saya untuk nonton bioskop. Kala itu, ketika orang
harus membeli tiket bioskop, situasi masih begitu menyedihkan. Untuk beli tiket
di loket, orang main serobot sana serobot sini. Orang yang besar bisa dengan
leluasa mendorong dan mendesak yang lain untuk bisa menerobos antrian, sementara
sang kecil juga bisa dengan gesitnya berkelit di antara kerumunan untuk
tiba-tiba nongol di depan meja loket.
Tapi saat ini budaya antri itu seperti
berangsur-angsur membaik.
Pernah juga saya ingat suatu ketika pada suatu
masa beberapa tahun lalu, dalam iklan layanan televisi, begitu gencarnya
disiarkan kampanye budaya antri ini. Sehingga di saat ini kita bisa lihat, di
kantor-kantor layanan masyarakat, loket, kasir pasar swalayan, orang begitu
patuh untuk antri. Begitu patuh untuk mempraktikkan sikap ‘mengerti dahulu’
kepada orang lain yang lebih dahulu tiba di antrian. Memang sih, di jalur
antrian terdapat pak satpam selalu mengawasi. Apakah orang-orang ini tetap
mengantri rapi tanpa kehadiran aparat pengaman? Entahlah. Tapi saya masih
berusaha berprasangka baik bahwa saat ini budaya kita untuk ‘seek first to
understand’ mulai ada dan tumbuh.
Tapi, ada lagi satu hal yang saya lihat
sampai saat ini masih terlihat sangat memprihatinkan. Yaitu, lagi-lagi, budaya
orang-orang dalam berkendara di jalan raya. Kita bisa lihat di sekitar kita,
bila suatu saat terdapat antrian panjang karena kemacetan jalan. Masih saja ada
orang-orang yang berusaha menerobos antrian dan ‘memakan’ jalur jalan sisi kanan
mendahului antrian kemacetan jalan. Mereka tidak sadar bahwa yang mereka lakukan
bepotensi untuk justru semakin membuat jalan menjadi macet. Dan lebih dari itu,
yang mereka lakukan adalah sebuah praktek ‘kontraproduktif’ untuk tidak peduli
kepada orang lain. Bayangkan kalau di dalam mobil yang nyelonong itu, juga
terdapat anak-anak mereka. Apa kira-kira pelajaran yang mereka peroleh dari
kejadian itu?
Pagi itu, di kantor bank itu, untuk mengurangi dan
meredakan rasa bersalah dan kemrungsung saya. Saya pun kemudian mengambil
keputusan untuk menelepon kantor memberitahukan agar pertemuan bisa jalan duluan
tanpa kehadiran saya, karena saya baru akan tiba setengah jam kemudian. Kemudian
saya berusaha untuk mencairkan suasana dengan cara beramah tamah dengan orang di
belakang saya berdiri mengantri, alias sang bapak tua tadi.
Dan luar
biasa! Basa-basi singkat dengan sang bapak tua itu selama kami mengantri, telah
memberikan begitu banyak pelajaran kepada saya tentang bagaimana sang bapak
memahami kehidupan. Saya belajar untuk mulai bisa merasakan bagaimana bisa
seseorang yang tahu akan diserobot jalan antriannya, justru tetap tersenyum,
berhenti dan memberi jalan sambil mempersilakan untuk duluan.
Dan kalau
dirunut-runut. Semua itu hanya bisa terjadi ketika tertanam sebuah sikap
proaktif, mampu melihat ‘end in mind’ , memulai yang utama, legawa untuk
berpikir menang-menang dan bisa mengerti dahulu sebelum menuntut orang lain
untuk mengerti dirinya. Si bapak tua belum pernah belajar Seven Habit. Tapi
sikap budaya itu seperti telah menjadi perilakunya. Lagi-lagi saya harus
malu.
Dan pagi itu saya masih juga harus merasa malu kepada teman-teman
yang menunggu saya untuk pertemuan di kantor. Karena kenyataannya memang, dari
keputusan sikap yang saya ambil terhadap mereka pagi itu, mereka tetap berusaha
untuk ‘mengerti dahulu’…[pitoyo amrih]
Have a positive day!
Salam,
Mohamad “Bear” Yunus
Sr. HRD Manager of Pharmaceutical Company
Certified
Hypnosis and Hypnotherapy
Sertifikasi Pengurus Dana Pensiun
The 7 Habits
of highly effective people
Certified Professional Human
Resources
Certified Coaching and Mentoring
Licensed Practitioner of
Neuro-Linguistic Programming™ (from co-creator NLP, Dr. Richard
Bandler)
Licensed Master Practitioner of Neuro-Linguistic Programming™ (from
co-creator NLP, Dr. Richard Bandler)
Licensed Hypnotic Practitioner™ (from
co-creator NLP, Dr. Richard Bandler) As a Hypnotherapist
Certified
“Communication Expert”
Certified “Life Coach” "Kita-lah yang menciptakan
realita kita sendiri"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar