By A.C. Huang – inspired by Guru Kripta
Quote di atas –mungkin- sudah bukan quote yang istimewa dan termasuk umum. Quote
tersebut muncul karena kekaguman saya pada mentor, motivator, inspirator, dan
orator terkenal seperti Tung Desem Waringin, Mario Teguh, dan tentunya orator
besar bangsa kita : Bung Karno. Sejujurnya, saya ingin seperti mereka. Setiap
kali mereka tampil, seluruh audience memberikan sambutan dan menunjukkan
antusias yang luar biasa. Ini yang membuat saya tergerak untuk mengetahui
bagaimana mereka bisa luar biasa.
Saya berusana untuk mencari tahu
jawabannya, dan justru saya mendapatkan pencerahan dari Guru Kripta yang
mengatakan “A good listener is always a good speaker and later on he will become
a good leader. Artinya : Seorang pendengar yang baik adalah selalu menjadi
pembicara yang baik, dan kemudian akan menjadi pemimpin yang
baik.
Selanjutnya, bagaimana kita bisa menjadi pendengar yang baik ? Sang
Guru mengatakan sebagai berikut :
“If you come across a person, who knows
more than you, be like a child and listen to him as attentively. If you face
someone with less knowledge than you have, be humble and strive to make him as
good as or even better than you.”
Inti dari ujaran di atas adalah : kita
harus bisa menyesuaikan diri dengan siapa kita berbicara. Kalau kita berbicara
dengan orang yang lebih pandai dari kita maka janganlah kita sok pinter atau sok
tahu. Sebaliknya, kalau kita berbicara dengan orang yang pengetahuannya lebih
rendah dari kita maka kita juga tidak boleh berbicara dengan gaya seakan kita
lebih tahu darinya, melainkan kita harus bisa merendahkan hati kita dan
menempatkan lawan bicara kita sejajar dengan kita.
Pesan Guru Kripta
nampaknya tidaklah sulit untuk dilakukan, meskipun saya sendiri mengakui bahwa
diperlukan latihan untuk bisa menjadi pendengar yang baik; dan menjadi pendengar
yang baik ini tidaklah mudah sebab banyak di antara kita yang lebih suka menjadi
pembicara daripada menjadi pendengar. Apalagi kalau kita berhadapan dengan lawan
bicara yang kapasitasnya di bawah kita maka akan muncul dorongan dari dalam diri
kita untuk mendominasinya, dan ada kepuasan kalau bisa mendominasi. Sebaliknya,
kalau kita berhadapan dengan orang yang kapasitasnya di atas kita, ada
kecenderungan dari kita untuk berpura-pura menjadi setara dengannya supaya kita
tidak dipandang rendah. Padahal, justru dengan tidak berpura-pura menjadi setara
maka kita bisa menggali banyak pengetahuan dari lawan bicara kita.
Pada
dasarnya, ada dua keuntungan menjadi pendengar yang baik. Keuntungan pertama
adalah kita bisa mendapatkan pengetahuan baru. Keuntungan kedua adalah kita bisa
memahami lebih mendalam tentang lawan bicara kita. Memahami lawan bicara adalah
sama halnya dengan memahami audience. Orator-orator kelas wahid pada umumnya
mempunyai kemampuan memahami audience-nya dengan baik, sehingga dia bisa
menyampaikan orasinya sehingga menimbulkan atensi luar biasa dari audience.
Mengapa bisa demikian ? Menurut saya, pada saat sang orator memahami audience
maka pada saat itulah terjadi empati antara orator dengan audiencenya. Adanya
empati inilah membuat sang orator nampaknya bisa menyampaikan sesuatu yang
memang dirindukan oleh audience.
Mendengar itu tidak hanya menyimak yang
disampaikan oleh orang lain, melainkan juga memahaminya. Di saat terjadinya
proses pemahaman maka di saat itulah terjadi empati. Empati ini mempunyai
peranan penting yang mendukung interaksi antara audience dengan sang orator.
Dengan kata lain, orator ulung adalah mereka yang bisa berempati dengan
audiencenya.
Selanjutnya, apakah maksud sang Guru bahwa pendengar yang
baik adalah pembicara yang baik dan akhirnya menjadi pemimpin yang baik ? Dalam
hal ini, saya ilustrasikan lewat pengalaman yang saya alami.
Partner saya
adalah tipe pendengar yang baik. Di awal perjumpaan saya dengannya, dia begitu
antusias mendengar, menyimak, dan memahami setiap penjelasan saya perihal
rencana untuk membuka divisi usaha baru bekerja sama dengannya. Saat memaparkan
rencana bisnis tersebut di hadapannya, saya sama sekali tidak merasakan adanya
defense dari dia. Dia bahkan menunjukkan antusiasmenya yang besar, dan di
sinilah saya melihat betapa besar empatinya kepada saya. Kalaupun ada yang tidak
berkenan dengannya, maka dia menyampaikan pandangannya dengan mengatakan :
“bagaimana kalau konsepnya diubah seperti ini, apa kira-kira hasilnya.” Dia sama
sekali tidak mengkritik dan menyerang saya, melainkan mengarahkan saya untuk
bisa mengikuti jalan pikirnya. Sangat jarang saya menerima perlakuan demikian,
sebab pada saat saya presentasi, selalu saja saya merasakan ada serangan balik
dari lawan bicara saya. Perasaan ini muncul entah karena memang saya tidak
pernah mau mendengar orang lain, atau memang lawan bicara yang bergaya
menyerang. Terlepas dari ini semua, saya banyak belajar dari partner saya soal
menjadi pendengar yang baik, yang juga memberikan pencerahan tentang bagaimana
menjadi pemimpin yang baik dan juga mencerahkan saya untuk berhasil dalam
menghadapi komplain, dan termasuk menyelesaikan persoalan hutang macet dari
beberapa customer. Pengalaman ini saya tularkan kepada semua staff di divisi
saya dan memberikan hasil yang memuaskan. Komplain dapat ditangani dengan baik,
dan customer yang awalnya marah-marah malah berbalik menjadi mitra dengan
memberikan order-order lagi. Juga, angka kredit macet bisa ditekan sampai titik
terendah, dan beberapa customer yang sudah melunasi hutangnya justru menjadi
mitra yang mendukung meningkatnya angka sales.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar