Sumber : http://sepedakwitang.wordpress.com/2011/12/08/kekasihku-pergi-saat-berjihad-kisah-pegawai-pajak/
SAYA TEMUKAN SOSOK IDEAL PEGAWAI PAJAK pada mendiang suami saya.
Hanya Allah pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang
hampir sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya.
Ia terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami
biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman
kantornya memanggilnya Najib –atau Pak Najib.
Abang pergi mendahului kami. Ia
menitipkan tiga buah-hati kami. Dafi Muhammad Faruq, putra, umur enam
tahun, kini kelas satu SD. Adiknya, dua putri cantik kami, Kayyisah
Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan Mazaya Hasina Najib, tiga bulan.
Ketika Abang mangkat pada 21 Februari 2011, si bungsu masih dalam
kandungan empat bulan. Meski telah pergi, Abang mendidik saya
menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi long distance, saya
memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan anak anak. Dengan bekal
ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang saya menjadi tahu apa itu
arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah yang membuat saya harus
bangkit menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa
“banyak godaannya”. Abang memberikan pengertian pada saya bahwa materi
yang identik melekat dengan pegawai Pajak, jangan menjadi
patokan kebahagiaan dan kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak
bermateri (saat itu saya tidak mengerti apa maksudnya).
Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan
puncak kegundahannya. Setelah bekerja selama satu dekade , kebimbangan
itu pun terucap, “Bunda, Ayah takut apa Ayah sudah menafkahi
keluarga ini dengan halal?” ia bertanya kepada saya. Banyak pandangan
negatif terhadap pegawai Pajak saat itu –bahkan hingga kini. Saya
bekerja di satu bank BUMN. Banyak nasabah dan teman seprofesi yang
“curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak dan betapa ribetnya
mengurus pajak –waktu itu, sebelum modern.
Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada
pegawai pelaksana yang punya rumah dan mobil mewah. Abang seorang
kepala seksi, dan kondisi itu yang membuat Abang sering
memberi pengertian pada saya. Sebagai seorang istri pegawai Pajak, saya
harus hidup sederhana dengan gaji sebagai PNS. “Jangan pernah
terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk mendapatkan sesuatu yang tidak
halal,” Abang memberi nasihat.
“Apa gaji yang ayah terima ini halal?”
kembali ia gusar. “Nafkahilah keluarga ini dengan keringatmu. Bun
percaya Ayah akan memberikan yang terbaik untuk kami,” jawab saya.
“Kira kira bagaimana jika Ayah keluar
saja? Jadi guru ngaji,” tuturnya membulatkan tekad. Matanya berlinang.
Saya pun ikut menangis saat itu.
“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi
lebih baik? Kalau Ayah mundur sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah
harus mengubah kebiasaan itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk
bisa berubah. Ayah pasti bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu
itu.
“Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu
akhirnya terjawab dengan modernisasi dan reformasi birokrasi DJP. Pada
2006, sampailah juga gelombang kantor modern di Jawa Tengah –waktu
itu Abang dinas di Pekalongan.
Abang orang yang sangat sabar, tenang, tak banyak bicara. Malah
terkadang tanpa ekspresi. Namun dalam diamnya, saya tahu ia tak diam.
Selama kami bersama, belum pernah ia marah sekalipun. Ia laki-laki yang
hangat dan update –selalu tahu semua hal. Diajak segala macam diskusi,
pasti langsung nyambung apapun topiknya, apalagi soal agama.
Keseimbangan itu yang kami teladani di rumah. Ia orang yang ngocol,
kadang jail dan sangat romantis. Dengan gitar kesayangan, ia sering
bernyanyi bersama anak-anak dengan kekonyolannya, melucu sampai tertawa
terbahak-bahak. Itu semua momen yang kami rindukan.
Salah satu lagu pengantar tidur anak-anak
yang sering dinyanyikan, “Demi masa, sesungguhnya manusia
kerugian,melainkan yang beriman dan yang beramal sholeh, ingat lima
perkara sebelum lima perkara, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua,
kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit, hidup sebelum mati…”
Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak
diragukan. Saya acungi jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil
enam bulan anak pertama. Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia
masih bekerja larut hingga hampir pingsan di sebuah klinik di
Pekalongan. Opname yang dianjurkan dokter tak dihiraukannya. Saat itu
hari-hari akhir penerimaan SPT wajib pajak. Operasi “tembak” adalah
solusi yang kami pilih karena bisa lebih cepat pulih dan tidak
usah dilakukan pembedahan. Saran dokter, opname selama dua minggu.
Namun, bedrest hanya bertahan tiga hari. Kala itu belum ada mesin absen
fingerprint. Masih serba manual dengan tanda tangan. “Titip absen saja,
kenapa?” saya saking kesalnya memberi saran. “Lagi sakit kok
mikirin kerjaan, gimana bisa orang sakit kerjanya maksimal?”
Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan
saya. Alhasil, dengan keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit
itu ujian dari Allah. Harus kita nikmati,dan jangan mengeluh,”
jawabnya simpel.
Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui
dengan baik. Lalu, Abang mutasi ke Palembang. Satu sisi lebih jauh
dengan kami. Tapi di sisi lain, lebih dekat dengan kampung halamannya.
Alhamdulillah, Agustus 2010, kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor
Pelayanan Pajak BUMN, kantor pajak dengan penerimaan terbesar, yang
perlu effort lebih tentunya. Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah
yang Abang ambil adalah yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta –mertua
saya–
mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”.
Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam setiap
memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai tergoda
dengan duniawi ya.”
“Kenapa suamimu gak minta pindah di
Bandung saja? Kan bisa lewat Si Anu. Yah, minimal setor satu Kijang
lah,” salah satu teman saya yang suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi.
Saya tak tahu maksud ucapannya, apakah ia bercanda atau serius.
Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum
saat saya ceritakan hal itu. “Sudah, gak usah dipikir. Allah punya
rencana yang lebih indah untuk kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang
Pajak sudah modern udah gak perlu kayak gitu lagi kok. Yang penting
kerja kita bagus. Apapun yang kita lakukan karena Allah. Malah jadi
ibadah kan?”
Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini
mengecewakan banyak pihak yang telah bekerja keras. Di satu sisi justru
suami saya senang. “Pada akhirnya, biarlah yang benar yang akan
menang,” tuturnya. Di sisi lain, kita harus membuktikan bahwa tidak
semua orang Pajak seperti Gayus. “Orang Pajak sekarang beda dengan yang
dulu. Sudah modern, sudah tidak ada lagi ‘kebiasaan’ Itu,” tuturnya
yakin. Secara tidak langsung saya pun ikut menjadi “jubir” bagi
teman-teman di lingkungan saya.
Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin
perfeksionis. Ia ingin segala hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak
mau meninggalkan cela pada pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah
bila harus menyetrika bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang
lebih puas dengan hasil setrika sendiri.
Februari 2011, Abang mengemban amanat,
jadi satu anggota tim yang menyusun sebuah buku coaching di Kantor
Pusat. Ia siap mengutarakan sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program
itu. Sayang, dalam perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong
takdirnya. Satu titik dalam sebuah periode yang mengubah total
kehidupan saya dan anak-anak.
* * *
DUA KALI KAMI tertunda berangkat haji. Pada akhir 2008, kami sudah siap.
Namun, Abang mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang tugas dari
Palembang menuju Jambi. Tabungan kami untuk Ongkos Naik Haji pun
akhirnya terpakai untuk biaya mengganti mobil dinas Livina yang ringsek.
Abang tak mau memanfaatkan fasilitas asuransi kendaraan kantor. Dia
memilih bertanggung jawab sendiri. Uang bisa dicari, mungkin Allah belum
berkehendak. Yang penting Abang selamat. Tahun 2009 pun kami lewatkan.
Maklum, masih belum cukup biaya untuk melunasi. Hingga akhirnya, 2010,
saya mantap naik haji. Berapapun biayanya. Apapun kendalanya.
Saya berdoa, “Mudahkan ya Allah, kami ingin beribadah.”Alhamdulillah,
ada jalan walaupun kami harus memanfaatkan pinjaman kantor saya. Itupun
Abang masih ragu, “Bunda, apakah ini hak kita?” tanya Abang. Padahal,
dengan gajinya sekarang, mungkin Abang bisa saja langsung melunasi ONH.
Namun tidak demikian. Abang masih bersikeras dengan alasannya.
Alhamdulillah akhirnya saya dapat memantapkan hati Abang. Dengan
izin-Nya, kami bisa melunasi ONH dari hasil tabungan gaji pokok PNS,
bonus, dan sedikit tambahan pinjaman. November, tiga bulan sebelum
kehilangannya, berangkatlah kami berdua.
Sepertinya Allah sudah menyusun rencana dengan sangat indah. Empat puluh
hari saya bersamanya di tanah suci adalah waktu yang sangat indah dan
tak dapat saya lupakan. Selama kami berumah tangga dari awal menikah,
kami belum bisa kumpul bersama. Saat itulah saya merasakan indahnya
kebersamaan yang tak ingin terpisahkan. Sempurna rasanya sebagai
istri yang bisa melayani dan mengurus suami. Begitupun Abang. Ia
menunjukka keceriaan yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Abang adalah
tipe orang yang sangat perhatian dan romantis. Satu kali kami hendak
salat dan saya berdiri di samping belakangnya. “Bunda salatlah di
saf (barisan) perempuan.” “Tapi, Ayah… Bunda sendirian.” kebetulan saat
itu suasana padat sekali di Masjidil Haram. Saya sempat mengelak.
“Berjihadlah, ayah bertanggung jawab
mendidik Bunda dan anak-anak.” Sedih rasanya mendengar jawaban itu.
“Bunda harus terbiasa sendiri,” sambung Abang.
“Kenapa, Yah?”
“Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
“Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
“Ada Allah yang menjaga anak-anak,” Senyumnya membuat hati saya merasa
tenang dan yakin. Ternyata ini pesantren yang Allah berikan lewat ilmu
agama yang baik dari Abang. Saya dapat pengetahuan banyak.Terima kasih
ya Rabb, Kau telah memberikan kesempatan untuk kami dapat beribadah
bersama. Sungguh, momen itu tak mungkin bisa terlupakan. Banyak nikmat
yang kami terima sampai kami tiba ke tanah air dengan selamat. Hadiah
terindah dari Tanah Suci, saya positif hamil.
Beberapa peristiwa merupakan pertanda
yang tak saya sadari. Tanggal 9 Februari 2011, dua pekan sebelum hari
celaka itu, kami nonton teve bareng. Ada berita tentang selebritis yang
jadi politisi kehilangan suaminya –yang juga artis cum anggota Dewan.
Sang istri menangis mengelus-elus nisan suami. “Kalau Bunda seperti itu
gimana, ya Yah? Anak-anak masih kecil…” spontan saya nyeletuk dengan
maksud bercanda.
Entah kenapa rasa humor yang seperti
biasanya, hilang tergantikan dengan tausyiah. “Itu yang tidak boleh,”
tuturnya tenang, “menangis, meratapi di pusara tidak baik. Yang
diperlukan orang yang telah meninggal adalah doa dari yang masih hidup,
bukan bunga yang wangi atau nisan yang indah. Saat Nabi Muhammad
ditinggal istri tercinta Khadijah pun beliau merasakan kehilangan dan
hanya berkabung tiga hari. Boleh menangis, asal jangan meratap.”
“Hidup di dunia hanya sementara, justru
hidup setelahnya yang akan kekal. Perbanyaklah bekal untuk di akhirat.
Tiada daya upaya manusia untuk mencegah bila Allah telah berkehendak
untuk mengambil nyawa manusia. Jangan takut, Allah lebih dekat dari urat
nadi kita. Banyak baca buku tentang agama, yah Bun. Biar tambah banyak
ilmunya.”
Dengan senyuman khas yang menenangkan, Abang tak pernah seperti sedang
mengajari bila ia sedang berbagi ilmu. Abang berujar, “Tolong jaga
anak-anak. Didik agamanya dengan baik. Istikamahlah karena bila agamanya
kuat dan takut kepada Allah, dia bisa menghadapi dunia dengan ilmu.
Bukan dengan harta dan ingat Allah selalu tahu apa yang kita perbuat.”
* * *
SEMENJAK PULANG ZIARAH, Abang memperlakukan saya begitu istimewa.
Mungkin karena saya sedang hamil. Saya begitu dimanjanya. Hingga Minggu
malam itu (20/2)… Kehamilan dua anak sebelumnya, Abang tak pernah
menuruti keinginan saya, sekalipun merajuk jika meminta sesuatu. Tapi
malam itu… “Kita makan di luar yuk. Bunda pasti pengen apa deh. Kan lagi
hamil muda. Ayo lagi kepengen apa?” ujarnya setengah memaksa untuk
pergi. Akhirnya kami pergi makan di sebuah resto ikan bakar favoritnya.
Karena lama tugas di Makassar, kuliner ikan wajib sebulan sekali buat
kami. Abang memesan menu lebih banyak dari biasanya. Alasannya, bisa
dibungkus untuk sahur. Alhamdulillah, Senin-Kamis tak pernah terlewatkan
untuk puasa sunah. Apa ini yang disebut pertanda? Hendak berangkat ke
resto, kami mendapati ban mobil kempes. “Bersyukur, Bunda. Kita keluar
rumah nih. Ban kempes, kalo ketahuannya besok pagi, bisa-bisa Ayah
kesiangan rapat di Kantor Pusat. Ayah yang menyiapkan ide, masak
terlambat? Gak enak dong.”Lagi lagi dengan senyumanya.
Tengah malam, Kayyisah panas dan muntah.
Rewel sekali. “Dede (panggilan Kayyisah) pengen tidur sama Ayah aja….
Pengen dipeluk Ayah… aku sayang Ayah. Ayah gak boleh kerja,” rengeknya.
Abang pun membuka baju, dan memeluk Dede. Dan Alhamdulillah panasnya
reda. Dede pun terlelap.
Pukul setengah tiga dini hari, kami
bangun salat tahajud. Biasanya, kami selalu berjamaah. Setelah berdoa,
kami berpelukan, saling meminta maaf. Ritual itu tak pernah absen kami
lakukan sehabis salat. Tapi kali ini Abang minta salat sendirian. “Kita
pisah yah. Ayah mau memperbanyak salat tahajudnya.”
“Kenapa?” pertanyaan itu mestinya saya ungkapkan. Tapi tertahan di hati saja.
Ikan bakar yang seharusnya jadi menu
sahur tak Abang sentuh. Malah, Abang meminta buah. “Bun, tahu gak
buah-buahan itu makanan di surga. Jadi Ayah cukup sahur dengan apel
aja.” Saya tak bertanya, dua minggu terakhir ini Abang bertausyiah
tentang kematian terus. Keanehan yang lain, Abang menitipkan Dede sama
Mbak (pengasuh anak kami) berulang-ulang.
“Tak seperti biasanya, Bapak nyuruh
jagain Dede berulang gitu. Kok kaya mau kemana aja,” ujar Mbak kepada
saya. Jam 03.30 pagi. Saya dan Dafi mengantarnya hingga ke pool travel
Xtrans di Metro Trade Center. Keanehan yang lain terjadi lagi. Abang tak
mau memandang saya. Seperti orang yang sangat sedih mau pergi. “Ayah
mau salat di mobil saja. Bun, hati-hati ya. Titip anak-anak,” itu
kalimat terakhirnya. Biasanya Abang minta berhenti di rest area guna
salat subuh.
Tepat pukul 04.30. Ring tone hape yang
sengaja saya bedakan berbunyi. Abang menelepon saya. Sayang, tak sempat
saya angkat karena rasa kantuk. Kami begadang karena Dede
rewel semalaman. Seandainya saja saya bisa angkat telepon itu, mungkin
saya bisa mendengar suaranya yang terakhir kali…
Pukul 04:35. Menurut catatan kronologis
Jasa Marga, peristiwa di Tol Cipularang Jalur B Km 100 itu terjadi.
Tabrakan karambol yang melibatkan satu truk, minibus travel, dan sebuah
mobil, menewaskan tiga orang. Semuanya penumpang travel. Abang
meninggalkan kami dalam keadaan puasa. Dan mungkin tengah mendirikan
salat subuh. Dalam perjalanan memenuhi tugas.
Di mata saya, Abang wafat dalam jihad. Wallahualam –Tuhan yang punya ketentuan.
Allah punya kehendak lain. Allah lebih
mencintai Abang daripada kami. Dia lebih berhak atas Abang daripada
kami. Ajal, jodoh, dan rejeki hanya Allah yang tahu kapan dan di mana.
Takkan pernah ada yang bisa menghalangi atau pun tertukar. Bila Allah
telah berkehendak, tak ada yang mampu menahannya. Allah memberi
kesempatan untuk saya agar lebih dekat dan banyak beribadah lagi.
Insyaallah ini menjadi ladang ibadah.
Menyangkut kejadian ini, jangan ditanya rasa sedih. Yang saya rasakan
hingga saat ini, air mata sepertinya tak bisa kompromi, seakan mendesak
keluar, jika mengingatnya. Namun, saya ingat pesan almarhum. Saya tak
boleh larut dipermainkan pikiran “seandainya-seandainya”. Itu
semua sudah kehendak-Nya. Tak kurang dan tak lebih. Sudah begitu adanya.
Hanya doa saya dan anakanak yang bisa kami berikan untuk kekasih kami…
Ismail Najib.
Belakangan saya mengetahui bahwa di perjalanan, Abang sempat berkirim posting pada sebuah
grup teman kerja di Blackberry. Itu posting terakhirnya.
* * Feb 21 Mon 04:04 * *
Najib:
Dengar suara adzan selalu tdk dihiraukan atau nanti sajalah
Tp dengar suara HP woow .!! :p
Lgsung segera diambil,
Astgfirullahal’adzm. . : (
Baca Al-qur’an
Seperti orang mengeja
Tapi kalo baca bbm Buseett lancarnya,.:$
Astagfirullahal’adzm. .
Beli pulsa siapa takut !
tp kalo sedekah katanya kantong lg sekarat
Astagfirullahal’adzm. .
Pegang tasbih 1x dlm sethun
tp pegang HP dibawa selalu, walau tidur sekalipun.
Astagfirullahal’adzm. .
sama2 Insyaf yuuukk.!!! :p
Ada baiknya bbm ini disebarkan, mumpung grtisan, dan qm
pun mendapat pahala karna
saling mengingtkan sesama
* * *
SABTU (19/2), DUA HARI SEBELUM KEJADIAN,
kami kontrol kandungan. Usia kandungan menginjak bulan keempat.
Keinginan Abang untuk dikaruniai anak kembar putri membuat dokter Sofi
geli dibuatnya. Tak seperti biasanya, dia ngebet ingin tahu apa jenis
kelaminnya. “Perempuan atau laki-laki, Dok? Satu apa kembar Dok?”
“Bapak mau ke mana sih? Kayak mau pergi
jauh aja. Banyak banget nanyanya. Masih empat bulan nih…”kata Dokter
bercanda. “Pengen tahu, apakah doa saya makbul atau gak.” Setelah cek,
diketahui calon anak kami rupanya perempuan. Tapi, “bukan kembar,” tutur
Dokter. “Gak apa-apa. Tahun depan bikin lagi yah Bun,” jawabnya sambil
melirik saya.
“Enak aja,” sahut saya bercanda. Rasa gembiranya tak bisa ditutupi.
“Ayah makin semangat kerja nih,” ujarnya, masih dengan senyuman mautnya.
Sebulan kemudian, saya kembali kontrol.
Kali ini… sendirian. Juga untuk lima bulan ke depan hingga melahirkan.
Dan bertekad membesarkan anak anak saya sendiri. Ini masa yang sulit
untuk saya bisa melaluinya. Kesedihan selalu saya tutupi. Dalam keadaan
hamil besar sendiri tanpa suami. Betapa sesak rasanya, ujian ini begitu
berat pikir saya. Terpuruknya saya seperti hilang separuh nyawa. Tapi
rasa sayang pada Almarhum membuat saya bertekad harus bisa dan kuat!
Satu lagi yang membuat saya bangga, Abang
tak pernah absen salat berjamaah di masjid. Sampaisampai di kompleks
masjid kami, Al-Hasan, Abang disebut “Pak Ustad”. Para jamaah sudah tahu
kebiasaan Abang : paling lama berdoa setelah salat.
* * *
BAGAIMANA CARANYA? Apa saya sanggup membesarkan tiga orang anak ini?
Menjaga dan mendidik mereka seperti wasiat Almarhum? Dan ternyata,
perkataan Abang benar, “Allah yang menjaga.” Ini yang membuat kami
bangkit menjalani kehidupan selanjutnya. Saya bersyukur, Abang
mengajarkan “ilmu ikhlas”. Masih banyak ilmu yang diberikannya yang baru
saya mengerti sekarang sepeninggal Almarhum . Ternyata keikhlasan
berbalas pertolongan dari arah yang tak disangka.
Saya sempat down sewaktu mengurus segala
sesuatu terkait hak suami saya. Sangat ribet. Banyak dokumen yang perlu
dilengkapi. Proses di Kelurahan dan instansi lain cukup berbelit.
Saya dihadapkan pada birokrasi yang sangat panjang tanpa kejelasan
prosedur. Namun rupanya banyak uluran tangan yang membantu. Allah
memberikan jalan kemudahan bila kita berpasrah dan ikhtiar. Saya
bersyukur karena masih bisa bekerja. Kini, sayalah yang harus mencari
nafkah demi anak-anak. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana dengan
keadaan istri yang sama dengan saya dan tidak bekerja?
Saya sangat berterima kasih kepada teman-teman seangkatan Abang (Mas Pank dan Mbak Tri).
Teman sepaguyuban telah banyak membantu
dan memberikan support (baca boks “Pak Najib di Mata Mereka” –peny).
“Apakah saya berhak menerima ini? Jika memang berhak,
Alhamdulillah,” saya bertanya kepada Mas Iwan, perwakilan teman
seangkatan Abang, yang menyerahkan santunan. Biaya sekolah Dafi juga
terbantu berkat mereka. Terus terang, saya kaget dan bersyukur,
sepertinya saya tak sendiri. Ada keluarga baru yang menemani kami.
Saya juga berterima kasih kepada
teman-teman sekantor Abang. Mbak Rini (Ibu Dwi Setyorini, Kasubag Umum
–peny) dan tim Waskon mengurus pencairan hak-hak almarhum. Sejak
Februari, baru Oktober ini selesai. Pak Joga (Bapak Joga Saksono, Kasi
Pengawasan dan Konsultasi –peny), serta Pak Yond Rizal (Kepala Kantor
–peny). Kepala Kantor yang telah mengusulkan Abang memperoleh predikat
anumerta. Status anumerta menegaskan bahwa Abang mangkat
sewaktu menjalankan tugas.
* * *
TAK ADA YANG BANYAK BERUBAH dari rumah
ini. Kecuali tinggi lantai yang terpaksa saya naikkan 50 cm. Maklum, dua
tahun terakhir, tiap hujan turun, kompleks kami dilanda banjir.
Air masuk hingga semata kaki. Rencana menambah tinggi lantai sempat saya
utarakan. Itu pun saya lakukan karena masa kelahiran si bungsu kian
dekat. Kasihan si kecil. Namun pesan mendiang tetap terngiang,
“Bagaimana dengan perasaan para tetangga? Kalau rumah kita tinggi
sendiri,
bagaimana dengan mereka? Kita jangan egois, Bunda.” Bahkan, untuk
mengganti cat dinding yang baru, Abang harus tengok kiri-kanan dulu.
Pernah ada teman nyeletuk, “Gue aja udah
punya rumah tiga. Suami lu kan Kasi.rumah dipinggiran ” Mendengar hal
itu, nasihat beliau sederhana, “Gak usah ngiri. Kita harus bangga dengan
apa yang kita punya.syukuri yang ada, Jangan harap suamimu akan
mengambil sesuatu yang lebih dari haknya.” Yah, rumah ini sejak kami
beli dan tempati pada akhir 2005, masih harus kami cicil hingga 10 tahun
ke depan.
Tak ada yang banyak berubah dari rumah
ini. Pigura mungil foto perkawinan kami masih terpajang. Kami memakai
sepasang baju dan kebaya biru nyala segar. Dua buah foto kami
berdua, saling berpelukan dan tersenyum juga masih ada. Foto keluarga,
waktu itu masih dua anak, kami kompak memakai putih-putih, bertengger
manis. Ada juga foto Dafi, alangkah gagahnya ia, saat wisuda TK
Al-Biruni angkatan 2010-2011. Si sulung juga mempersembahkan piala Juara
Kedua Lomba Gerak dan Lagu Geordase TK se-Kecamatan Penyileukan 2011.
Di atas meja belajar Dafi dalam kamar, senantiasa berdetak jam dinding
warna biru dari KPP Madya Palembang.
Semuanya masih ada pada tempatnya,
seperti saat Abang masih bersama kami. Tak ada yang berubah… kau selalu
di hati kami. Minggu malam itu, sebelum berangkat menjemput takdirnya,
Abang menulis surat di buku Dafi dengan tinta ungu.
SURAT untuk:
Dafi jagoan ayah
Dafi, ayah mau berangkat kerja dulu ya.
Abang jagain bunda sama dede yah.
Abang emam nya yang banyak ya..
jangan lupa minum susu dan sikat gigi
kalau mau bobo.
Belajar yang rajin
jangan lupa belajar solat.
da dah Abang…
peluk sayang
dari ayah
(Ayah Najib)
ttd
Tak akan ada yang berubah dari rumah ini.
Kecuali anak -anak yang bertambah besar. Anak-anak tetap ceria. Bermain
bersama teman mereka di depan televisi di ruang tengah. Saya tak
mau menangis di depan mereka, tiap kali mengingat Abang. Kalau kepergok
Dafi, dia mengingatkan, “Bunda nangis ingat Ayah yah? Kata Bu Guru,
kalau teringat ayah kita mesti berdoa, Bunda. Ayah sudah di surga,
Bunda. Berarti Ayah sudah berkumpul dengan Nabi Muhammad. Kan masih
ada Abang (panggilan Dafi), Kaka (panggilan Kayyisah setelah punya adik)
dan Dede. Kita berjuang bersama-sama, ya Bun. ” Saya takjub
mendengarnya. Anak seusia Dafi sudah bisa bertutur seperti itu.
Satu lagu sering dinyanyikan Almarhum
untuk saya. Dan sekarang saya persembahkan untuk beliau: “Takkan
Terganti”. Reff: “Meski waktu datang dan berlalu hingga kau tiada
bertahan semua tak kan mampu merubahku hanyalah kau yang ada direlungku
hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta kau bukan hanya
sekedar indah kau tak akan terganti…”
Delapan bulan sudah berlalu tanpa
kehadirannya,Yah memang tak ada yang banyak berubah dari rumah ini
begitupun dengan hati kami, Kami ingin sekadar menganggap Abang sedang
berangkat kerja. Hanya, Ayah masih belum kunjung pulang. Selamat jalan
Ayah akan kubesarkan dan kudidik anak kita seperti yang kau
inginkan,semoga Allah selalu melindungi kami dan Semoga kita
dapat berkumpul di surga kelak. Kau akan selalu ada bersama kami Peluk
sayang kami yang menyayangimu,
Bandung, Oktober 2011
Pak Najib di Mata Mereka
Kolega, kawan karib, dan teman seangkatan memberi testimoni soal seorang
Ismail Najib. Tim Buku Berkah mewawancarai mereka. Agus H Purnomo,
moderator milis dan Sekretaris Paguyuban Sembilan Lima Satu Hati (Slash)
“Kami, teman seangkatan penerimaan dari Sarjana tahun 1995, tentu
kehilangan salah satu orang terbaik. Ia punya jiwa kepedulian yang cukup
tinggi. Tulisan posting beliau di milis bermanfaat, berisi nasihat.
Bahkan posting terakhirnya.
Paguyuban ini terbentuk dengan misi sosial sebagai solidaritas terhadap
kawan yang mendahului kami. Mereka punya keluarga. Dan anak-anak mereka
adalah putra-putri kita juga. Kami berkomitmen memberi santunan beasiswa
tiap bulan kepada anak teman yang wafat, sejak usia SD hingga SMA
kelak. Lebaran kemarin, kami juga berbagi rasa dengan anak-anak
tersebut. Dana kami kumpulkan dari iuran bulanan. Sejak Juni 2008, kami
melembagakan paguyuban ini jadi Yayasan.
Tapi, kami tetap netral. Ini bukan wadah
gerbong-gerbongan angkatan tertentu. Awalnya, kami berjumlah 641.
Perkembangannya, ada teman yang resign dari DJP atau Kementerian
Keuangan. Anggota kami tinggal 594. Walau bagaimanapun, kami tetap satu
ikatan keluarga besar. Sebelum Najib, tiga teman sudah dipanggil
–berarti kini kami kehilangan empat sahabat. Namun kami baru menyantuni
enam anak dari tiga teman. Kami masih menelusuri keberadaan
keluarga alm. Muji Haryadi. Muji resign dari DJP, sempat mengajar di
UIN. Kabar terakhir dia ambil S3 di IPB, meninggal pada 2009. Anak-anak
beliau juga berhak mendapat santunan seperti lainnya.”
Ahmad Rivai, teman satu kelas kawan sekamar
“Kami bareng di Diklat Pajak Terpadu. Belajar juga bareng. Najib sering
menjadi imam salat – orangnya khusyuk. Dia awalnya di KPP Tanjung Priok
dan saya di Jatinegara. Kami satu kantor di Kelapa Gading ketika menjadi
Kasubsi (Eselon V). Saya di Orang Pribadi sedangkan Najib di Pengolahan
Data dan Informasi. Waktu itu masih dikenal bagian “basah” dan
“kering”. Data termasuk yang “kering”. Tapi Najib tak pernah
mempermainkan kewenangan demi keuntungan pribadi. Setiap kami butuh
data, dia selalu respon dengan cepat dan penuh tanggung jawab. “Data ini
harus dimanfaatkan untuk penerimaan negara,” kata dia. Orangnya bersih,
lurus, jujur, smart, bersemangat. Terus terang, saya iri atas semua
kebaikannya.
Promosi menjadi Kasi (Eselon IV), kami
berpisah. Najib di Makassar, saya di Purwakarta. Di sana, Najib tinggal
selama lima bulan di rumah mertua saya. Setelah empat tahun, dia pindah
Pekalongan. Lalu, kami bertemu kembali di Palembang. Orang yang pertama
kali dihubungi adalah saya. Dia di KPP Madya, saya di Kanwil Sumatra
Selatan. Kami satu kamar di rumah dinas KPP Palembang Ilir Timur. Dia
selalu membangunkan saya salat tahajud maupun subuh. Mutasi lagi, saya
di Madya Bekasi dan dia di BUMN. Baru-baru ini saya bermimpi, dia
dimandikan sebelum dikuburkan. Tapi dia bangun dan menyapa saya, “Apa
kabar?” Banyak kawan mempersamakan saya itu Najib dan Najib adalah saya.
Saya menangis mengenangnya.”
Joko Widodo, Account Representative KPP BUMN
“Saya salah satu bawahan beliau di Seksi Pengawasan dan Konsultasi I.
Setiap mendengar azan, Pak Najib langsung berhenti mengerjakan segala
hal. Lalu bergegas ke masjid. Mestinya semua pegawai muslim mencontoh
itu.”
———————————
PENTING UNTUK DIBACA
Tulisan ini di dapat dari milis divstan08 yang berasal dari salah satu tulisan di dalam buku BERKAH (Berbagi Kisah dan Harapan) DJP ditulis oleh Bunda Nelly ARS istri dari Bapak Ismail Najib. Jadi.. disini saya jelaskan ya, kalau saya bukan istri Bapak Ismail Najib, bukan Bunda Nelly
, karna banyaaaak komen yang menshare hal-hal tertentu yang ditujukan
untuk Ibu Nelly. Saya hanya menshare di blog ini dengan tujuan menebar
kebaikan dan turut serta dalam aksi sadar anti korupsi di lingkungan
instansi saya bekerja, Kementerian Keuangan. Saya sendiri adalah salah
satu pegawai di Badan Kebijakan Fiskal. Insyaallah ratusan apresiasi
teman-teman akan saya sampaikan kepada Bunda Nelly, insyaallah *sedang
diusahakan. Terima kasih banyak untuk tanggapan yang luar biasa dengan
menshare tulisan ini di ribuan akun media sosial teman-teman. Tulisan
ini sudah dibaca puluhan ribu manusia, insyaallah banyak manfaatnya ya..
Ibrohnya? Untuk orang non-Kemenkeu,
janganlah menyamaratakan semua pegawai Kementerian Keuangan seperti GT
atau koruptor lainnya. kalau bukan kalian yang percaya, mau siapa lagi?
untuk pegawai kemenkeu? yuuuuks, jaga diri dan keluarga kita dari segala hal yang bukan HAK kita!!